Thursday, March 22, 2012

Hak Azasi ‘Orang Gila’


Terabaikannya sistem pelayanan, anggaran dan peraturan tentang kesehatan jiwa membuat hak azasi ‘orang gila’ terlanggar.

Berdasarkan data WHO, jumlah rata-rata penderita gangguan jiwa di setiap negara mencapai 30 persen dari total populasi. Untuk gangguan jiwa berat atau yang kerap disebut ‘orang gila’ bisa mencapai 3 persen dari total populasi. Mengacu pada hal tersebut, sedikitnya ada 7 jutaan penderita gangguan jiwa berat di Indonesia.

Sementara, angka yang diberikan oleh Departemen
Kesehatan memang lebih moderat. Menurut Dr Aminullah, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Depkes, penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai sekitar 15 persen dari total penduduk. Sedangkan untuk penderita gangguan jiwa berat mencapai 0,46 persen atau sekitar 1 juta orang.

Namun, jumlah penderita gangguan jiwa yang angkanya melebihi penderita HIV, Jantung atau TBC itu, masih dipicingkan sebelah mata oleh pemerintah. Sangat kurangnya fasilitas, minimnya tenaga medis kejiwaan, dan tak adanya payung hukum yang bisa melindungi penderita gangguan jiwa, wajar bila dikatakan pemerintah tidak peduli. “Negara belum memberikan pelayanan untuk kesehatan jiwa,” kata Yeni Rosa, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat.

Apa yang dikatakan Yeni masuk akal. Cobalah Anda telaah. Dari jumlah penderitaan gangguan jiwa yang mencapai jutaan orang itu, saat ini Indonesia baru memiliki sekitar 500 psikiater, dan sekitar 31 rumah sakit jiwa yang kapasitas tempat tidurnya hanya cukup untuk 8.000 pasien. Melihat rasio penduduk Indonesia yang mencapai 200 juta dengan 30 persen (data WHO) diantaranya menderita gangguan jiwa, jelas fasilitas pelayanan untuk penderita gangguan jiwa tidak bisa mencukupi.

Minimnya pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia itu tentu tak lepas jumlah anggaran yang juga sangat terbatas. Menurut Yeni, dari total anggaran kesehatan sebesar 2,8 persen, yang mengalir untuk pelayanan kesehatan jiwa hanya sekitar 1,5 persen. Jadi bila anggaran kesehatan saat ini baru Rp 28 triliun, maka yang diperuntukkan untuk kesehatan jiwa hanya Rp 420 miliar. Lagi-lagi bila kita mengacu pada hitungan WHO yang merumuskan biaya bagi pelayanan kesehatan jiwa sekitar 2 dollar Amerika per orang dalam satu tahun jelas kurang dari cukup. Pasalnya, angka ideal yang dirumuskan WHO diterapkan di Indonesia, setidaknya dibutuhkan biaya sekitar Rp 4 triliun untuk pelayanan kesehatan jiwa untuk 200 jiwa penduduk selama satu tahun.

“Anggaran pemerintah untuk kesehatan jiwa masih kecil karena pemerintah masih terfokus pada penyakit yang bersifat fisik,” kata Prianto Djatmiko, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) cabang DKI Jakarta.

Persoalan anggaran yang terbatas itu kemudian berujung pada pelanggaran hak azasi para penderita gangguan jiwa di Indonesia. Terbatasnya jumlah Rumah Sakit Jiwa yang biasanya berada di ibukota provinsi misalnya, belum bisa melayani pasien yang berada di pelosok pedesaan. Contoh, bila ada pasien yang berada di desan terpencil di Nusa Tenggara Timur, untuk berobat si pasien harus menuju Kupang.

“Itu kan biaya. Akhirnya pasien dibiarkan terlantar, menggelandang dan diantaranya berakhir di liang kubur. Ada juga yang dipasung hingga puluhan tahun. Dan itu jelas merupakan pelanggaran HAM,” kata Yeni.

Pemasungan di tengah rawa atau di bawah pohon terhadap penderita jiwa harus diakui masih kerap terjadi. Mereka tidak diperlakukan secara manusiawi, makan dan minum, mandi hingga buat hajat dilakukan ditempat sama. Terkadang supply makanan dari anggota keluarga pun tak kunjung datang.

Selain perlakuan fisik yang tak manusiawi, pola pikir masyarakat terhadap ‘orang gila’ ini juga masih menyimpang. Penderita gangguan jiwa dianggap sebagai perlakuan roh halus, guna-guna dan alasan non medis lainnya. Walhasil, bagi mereka yang masih memiliki biayai untuk membiayai koleganya pun tak pergi ke Rumah Sakit Jiwa, tapi memilih berobat ke pesantren atau pun dukun. Wajar bila kemudian penyakit si pasien bertambah akut karena tidak dilayani secara profesional.

Namun, tentu tak bijak bila menyalahkan pola pikir penanganan ganguan jiwa yang berkembang di masyarakat. Hal itu terjadi karena minimnya informasi dan edukasi yang diberikan oleh pemerintah. Masyarakat tak mengetahui apa yang harus dilakukan bila dirinya atau koleganya terkena gangguan jiwa.

“Untuk mengubah kesadaran dan pola pikir itu adalah tugas pemerintah. Seharusnya pemerintah bisa memberikan sosialisasi seperti apa yang dilakukan terhadap penderita HIV, jantung, TBC atau demam berdarah,” ungkap Yeni.

Masyarakat juga beranggapan penderita gangguan jiwa ini sudah tidak bisa hidup dengan normal lagi. Buntutnya, hak dasar untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi penderita gangguan jiwa dihilangkan. Banyak perusahaan, bahkan ada instansi pemerintah yang memecat pegawainya karena diketahui menderita gangguan jiwa. Padahal, untuk gangguan jiwa berat itu, kemungkinan kejiwaan kembali normal itu bisa mencapai 60-90 persen jika ditangani secara benar.

“Ada orang yang menderita penyakit ini dipecat dari pekerjaan, sehingga terjadi diskriminasi. Mereka dianggap berbahaya, menular, dan sebagainya, sehingga mereka diberhentikan dari pekerjaan. Padahal kalau orang mengamuk itu, tukang pakir dan TNI pun bisa ngamuk, dan itu lebih berbahaya,” kata Irmansyah, Psikiater RSCM.

Menurut Irmansyah, ideal pemutusan hubungan kerja itu disertai dengan konsultasi dengan dokter agar bisa didianogsa secara tepat. Apakah benar karyawan itu tidak bisa bekerja atau mungkin bisa dialihkan ke bagian yang tingkat stres berkurang sehingga pasien tetap produktif. Tapi jangan disingkirkan.

“Itu seharusnya dikonsultasikan dengan dokter, jangan mengahakimi sendiri berdasarkan penyakitnya. Apalagi penyakit jiwa itu yang banyak variasinya, mulai dari level ringan hingga berat,” kata Irmansyah.

Namun, Irmansyah menilai tak sepatutnya diskriminasi terhadap ‘orang gila’ seluruh dibebankan oleh pemerintah. Dia mengajak masyarakat, LSM, dan pengambil keputusan untuk menengok kembali ke belakang. Dia berpendapat, ketidakpedulian pemerintah ini mungkin juga disebabkan karena tidak adanya tekanan atau kritikan dari masyarakat. “Mungkin kita kurang vokal mengungkapkan fakta-fakta itu. Ya seperti dalam politik, semakin sering dan banyak orang menyampaikan aspirasinya, akan semakin tinggi respon yang diberikan. Seperti kasus Prita lah,” kata Irmansyah.

Ketidakpedulian masyarakat plus minimnya layanan bagi penderita gangguan jiwa di Indonesia itu bertambah parah karena belum adanya payung hukum yang mumpuni yang bisa melindungi para ‘orang gila’. Hal yang mengatur tentang kesehatan jiwa di Indonesia, hanya terselip pada beberapa pasal dalam UU Kesehatan No.23 tahun 1992.

“UU Kesehatan belum bisa mengakomodir penderita gangguan jiwa. Masih bersifat diskriminatif. Misalnya, penderita gangguan jiwa dinilai menggangu keamanan sehingga mereka ditangkapi oleh aparat untuk dimasukan ke RS Jiwa. Jadi orang gila itu dianggap pengganggu keamanan,” kata Lilik Suwardi, seorang yang menderita gangguan jiwa.

Menurut Irmansyah, seharusnya Indonesia mempunyai UU Kesehatan Jiwa seperti di negara-negara maju. Dulu, Indonesia memang sempat mempunyai UU Kesehatan Jiwa pada tahun 1968, tapi entah kenapa UU itu kemudian dilebur dalam UU Kesehatan No.23 tahun 1992. RUU Kesehatan yang sedang digodok di DPR pun banyak yang menilai masih belum mampu mengakomodir pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia.

“Dulu itu kesehatan jiwa banyak diatur secara detil dalam UU, semisal bagaimana tumbuh kembang anak, hubungan dengan orang tua. Sekarang ini tidak jelas, sehingga hak asasi penderita gangguan jiwa belum terayomi dengan pelayanan yang baik, akses yang mudah dan biaya terjangkau,” ungkap Aminullah.

source ; http://bayuhari.blogspot.com/2009/06/hak-azasi-orang-gila.html

No comments:

Post a Comment